Kamis, 25 Mei 2017

KITA SAMA



Apa kau pernah perlihatkan kekuatan egomu.
Atau memakaikan surai  beduri di kesombonganmu.
Apa kau pernah juga membuat sabarmu pekikkan keangkuhan.
Menebar ancaman dengan dengusan kebanggaan menyakiti perasaan.
Menertawakan rasa takut.
Hingga tak takut pada apapun.
Jika pernah...!
Maka kita sama.

Apakah tak pernah terbesit dalam hatimu.
Tuk memulai membaca sebait sabda yang tersurat agar yang ESA mau mengampuni kita.
Apakah tak pernah bergetar hatimu.
Saat mendengar keagungan namaNYA terburai dari suara para muadzin.
Terbawa angin menyelinap masuk melalui indra sentuh raga.
Apakah tak pernah juga air matamu berlinang.
Saat lidahmu keruh kala menyebut namaNYA yang sudah kita lupakan.
Jika tak pernah...!
Berarti kita sama.

Lalu bagaimana jika hari esok tak pernah datang.
Padahal waktu tak bisa diputar kembali.
Sudah terlalu banyak dosa yang kita lakukan.
Padahal sangkakala taubat di bulan penuh berkah ini sebentar lagi dibunyikan.
Mungkin sudah waktunya kita membentangkan sajadah.
meluruskan shaf.
Merapatkan barisan ruh kita.
Bersama-sama bersujud padaNYA.
Menengadahkan tangan dan menundukkan kepala.
Renungi hiasan kerincing yang butakan mata.
Renungi lesatan cambuk yang pekakkan telinga.
Renungi hujaman tombak yang perihkan luka.
Aku tak tahu apakah aku pantas mendapatkan ampunanNYA.
Yang jelas...!
Ku awali semua dengan uluran tangan.
Dan dengan kerendahan hati aku haturkan.
Kami segenap keluarga ABDUS SAMIK dan JUMROH beserta PYSMBO manajement mengucapkan.
SELAMAT DATANG RAMADHAN.
MOHON MAAF YANG SEBESAR-BESARNYA.
Mari kuatkan iman.
Genapkan fardhu.
Hingga hingar-bingar kegembiraan dalam fitri menggerus silaturahmi yang pernah terlupakan.

PYSMBO.

Rabu, 03 Mei 2017

YANG TERUSIR




Gemetar tanganku ketika hendak menulis ini.
Tapi hatiku memaksa untuk terus merangkai kata.
Ntah dari mana harus ku mulai.
Apakah dari cerita permataku yang hilang.
Atau dari cintaku yang terusir oleh perbedaan kasta.
Aku hanya seorang pujangga yang tak pernah dipanggil namanya.
Yang hanya menganggap dengan menulis lebih leluasa mencurahkan perasaan.
Sedangkan dia pahlawan bertopeng.
Yang bergelimang dengan sayap terbalut tahta.
Dulu di antara kebencian dan kemiskinan.
Kita sama-sama menangis.
Kita sama-sama berjanji tuk saling menunggu.
Mana di antara dua penjemput yang datang lebih dulu.
Apakah aku yang terusir ini datang tuk menyematkan cincin di jari manismu.
Atau maut yang menjemput tuk menyatukan kita di lain dunia.
Namun kenyataan berkata lain.
Waktu silih berganti menjenguk rindu.
Akupun semakin jauh tersesat.
Namun semakin jauh pula aku tetap berpegang teguh pada janji kita.
Aku hanya tersesat tak tau arah.
Bukannya terpikat pada hati yang lain.
Itupun ku jelaskan lewat rintik hujan yang selalu menuntun jalanku menuju kamu.
Tapi kau lebih memilih pahlawan berkedok mahkota.
Kau tegaskan ikatan itu bukan suatu paksaan.
Melainkan tulus pilihanmu dan keluargamu yang tertipu oleh peran lakon pahlawan munafik.
Lalu kau layangkan  undangan perkawinan.
Saat ku baca undangan itu.
Usia mudaku seakan tak mampu menanggung beban duka yang kualami.
Beban yang menghempaskan ragaku di atas pembaringan lapuk.
Dua bulan aku terkulai menahan letih.
Dua bulan anganku memanggil namamu dalam mimpi.
Tapi keteguhan janji kita dulu yang terus membangkitkan semangatku.
Terus membangkitkan gairah hidupku yang bertekat membuat.
Perempuan harus mendongakkan santunnya untuk melihatku tersenyum.
Kini kau datang kembali.
Memanggil namaku lagi.
Setelah balutan sayap pahlawanmu luntur oleh rintik hujan yang selalu setia menemaniku.
Lantas kau menanyakan janji kita dulu.
Janji seberapa lama kita berpisah.
Kita akan tetap hanya menanti dua penjemput.
Apa aku sudah hilang di hatimu ucapmu.
Aku jawab....tidak.
Kamu tak pernah hilang di hatiku.
Cintamulah yang tlah hilang.
Kalau seperti itu maafkanlah aku pintamu.
Aku jawab...tidak.
Kamu tak bersalah.
Janjimulah yang tak mampu setia.
Sabarmulah yang membuat
Perempuan akan mengingat kekejaman seorang laki-laki meski secuil.
Dan melupakan kekejaman dirinya padahal begitu besar.
Siapa yang lebih kejam.
Aku yang terusir.
Atau kamu yang telah mengingkari janjimu hanya karena sebuah topeng.
Ingatlah permataku.
Janjiku tetap berpegang teguh seperti apa yang kau pinta untuk menjadikan kita sahabat.
Janji yang sama memegang teguh saat kita akan menunggu penjemput datang.
Pulanglah permataku.
Sampaikan salam sembah sujudku pada orang tuamu.
Aku yang terusir ini masih seperti dulu.
Meski sang pahlawan telah menjadi budakku,
Dan merelakan jandanya untukku lewat talak yang mengantarnya dalam tidur panjang.
Sampaikan juga pada janjiku.
Saat jauh dekat.
Cintaku tetap sama.
Sampaikan bahwa aku sang pujangga yang selalu merasa bodoh.
Namun tetap menjaga janjinya untuk tetap hidup dan bersemanyam di hati.
Sambil selalu berharap.
Semoga janji seperti itu tak pernah terucap dari hati para romansa yang baru mengerti arti sebuah cinta.
Wahai kapal van der wicjk sampaikan pada dunia.
Meski mutiaraku tlah hilang karena terusir oleh kasta.
Namun ia akan tetap hidup di hatiku sampai ku sempurnakan do'aku.


Note:
Rangkuman Novel dan film tenggelamnya kapal van der wick
Catata lakon drama.
Pujangga = enku zainuddin.
Hujan = bang muluk.
Permata = hayati.
Pahlawan bertopeng = azis

KEMENANGAN & KEKALAHAN

"Kemenangan akan terasa lebih indah jika diraih setelah mengalami kekalahan"
~ Pysmbo ~

KESUCIAN SANG BUNGA PART 8





Kehidupan Melati kini sangat bahagia. Jabbar sering ke rumah Melati untuk mengaji, tak lupa menemani Shania belajar. Sarah kini sudah memiliki dua anak laki-laki, anak yang kedua ini diberi nama Iqbal Farahidi. Sedangkan Melati sudah hamil anak yang kedua. Dan Jabbar belum juga mau menikah, dia merasa belum siap. Dia terus belajar mengaji kepada Ayah Melati.
Beberapa bulan kemudian, Melati melahirkan anak kedua. Melati dan Dokter David dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Fajar Merah yang menandakan mentari yang baru terbit, yang mengkiaskan perjalanan hidup baru setelah melalui jalan terjal berliku. Dokter David sendirilah yang memberi nama itu.
“Aku namai anakkku Fajar Merah, agar kelak ia mampu menyinari alam semesta, agar bisa berguna bagi seluruh masyarakat dan tegar seperti ibunya,” ucap Dokter David.
Waktu terus berlalu, daun-daun berguguran lalu bersemi kembali. Kisah cinta tak pernah berubah, hanya kenangan indah, sedih, tawa, tangis, resah, gelisah dan bahagia yang selalu menari bersama masa yang tak mengenal siapa saja. Ada yang berkata, manusia tak pernah berubah, tapi waktulah yang berubah. Dan waktu itu jugalah yang mengantar Ustadz Husin, Ayah Melati menyandarkan lelahnya dalam lakon drama yang ia perankan. Ayah Melati wafat meninggalkan lukisan indah untuk anak-anaknya. Meninggalkan coretan manis untuk para muridnya, terlebih lagi Jabbar sang pahlawan. Ustadz Husin meninggalkan sebuah pesan agar Jabbar bersedia menjadi penerusnya mengajar mengaji di rumahnya, mengajarkan kepada siapa saja yang ingin belajar. Meski merasa berat hati, tapi Jabbar tetap bersedia karena ini adalah permintaan dari gurunya.
Di saat prosesi pemakaman Ustadz Husin, semua kalangan menghadiri. Mulai rakyat miskin hingga ke golongan pejabat. Jakipun tampak di kerumunan para warga. Rupanya dia sudah selesai menjalani masa hukumannya. Keluarga Arman juga menghadiri pemakaman, prosesi pemakaman itu berjalan lancar dan dilanjutkan pembacaan doa tahlil selama tujuh hari setelah sholat magrib.
Setelah semua selesai, dan karena Jabbar diminta untuk menggantikan mengajar mengaji membaca al-quran dari anak-anak tetangga sekitarnya itu. Akhirnya Jabbar dan ibunya diminta untuk pindah rumah. Berkumpul bersama Melati, Dokter David, Shania, Fajar Merah dan ibu Melati yang juga sudah mulai renta, terlihat dari lipatan kulitnya yang mulai tampak di wajah Ibu Melati. Sedangkan rumah yang di desa di tempati sepupu Ibu Fatimahh. Demi membayar kebaikan keluarga Melati, Ibu Fatimahh bekerja sebagai pengasuh si Fajar Merah. Walau seperti itu, tak pernah sedikitpun Melati dan Dokter David menganggap Ibu Fatimahh sebagai pembantunya. Melati lebih menganggap Ibu Fatimah sebagai ibunya sendiri, Dokter Davidpun kini terus belajar membaca al-qur`an kepada Jabbar.
Kesedihan atas apa yang sudah memisahkan Melati sekeluarga dengan sang ayah lambat laun mulai pupus dengan seiring canda tawa Shania dan Fajar Merah. Tak terasa ada perubahan yang sangat mencolok di diri Dokter David, perubahan itu terlihat oleh Jabbar. Dokter David sering duduk berdua menghabiskan malam bersama Jabbar setelah pulang dari bekerja, tapi Dokter David tidak pernah bercerita langsung kepada Jabbar atas perubahannya itu. Hanya Jabbar sendirilah yang merasakan perubahan itu. Karena pernah sekali Jabbar melihat Dokter David terbatuk-batuk mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Saat itu Jabbar bertanya,
“Kenapa Dok?”
Tapi  hanya dijawab dengan kalimat yang menyimpan sejuta misteri
“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja kok,” jawab Dokter David saat itu.
Jabbar tetap menaruh curiga. Tapi Jabbar tak mempunyai kuasa. Jabbar tidak bisa memberitahukan itu kepada Melati juga kepada siapa saja, rahasia itu tetap ia simpan di dalam hatinya.
*******
Sunyi  malam belum menjenguk semesta, jam juga masih menunjukkan pukul 17.12. Namun langit terlihat begitu gelap. Hujan yang mengguyur tak jua reda, Arman duduk di kursi di teras rumahnya memandangi langit. Tertegun akan derai hujan menari dengan dingin meraba kopi yang di seduh oleh istrinya menjadi dingin. Sedangkan di ruang keluarga terlihat istrinya sedang bercanda dengan seorang bocah laki-laki, bocah itu adalah anaknya. Lalu terlihat sosok perempuan paruh baya membawakan dua potong pisang goreng yang masih terlihat berasap ke hadapan Arman. Melihat Arman sedang termenung, perempuan paruh baya itu meletakkan pisang goreng itu di samping segelas kopi yang sudah dingin tadi, seraya berucap
“Ini den pisang gorengnya.”
“Oh…Iya Bik, makasih ya,” jawab Arman sedikit kaget terjaga dari lamunan.
Seketika lamunan Arman semburat entah terseret angin atau tersapu hujan. Pandangannya beralih kepada pisang goreng yang baru saja disajikan oleh pembantunya itu. meski pisang goreng itu masih panas, tapi udara dingin malah menambah nikmatnya suasana. Langsung saja satu pisang goreng menyelinap di dalam perut, Arman meneguk kopi hitam yang sudah dingin tadi, lantas menyalakan sebatang rokok yang ia hisap dalam-dalam lalu menghembuskan kembali.
Lamunan itu segera menghampiri. Di bawah asap rokok yang Arman hembuskan itu menyembul sosok bayangan wajah yang pernah ia kenal. Sosok bayangan wajah yang pernah mengisi lubang di hatinya, yang pernah menemani hari-harinya, sosok bayangan wajah Melati yang berkilau.
Semakin jauh Arman melayang, semakin tinggi khayal Arman membimbing imajinya ke alam puluhan tahun silam. Saat pertama kali bertemu dengan Melati di bangku Madrasah Tsanawiyah. Mereka berasal dari SD yang berbeda, namun mereka memilih melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah yang sama di kotanya. Bukan masalah kurangnya dana, mereka memilih Madrasah Tsanawiyah, tapi karena di Madrasah Tsanawiyah ilmu agama lebih banyak diajarkan daripada SMP umum.
Perebutan bangku deret pertama itulah pertama kali kenangan mereka terukir. Pada waktu hari pertama masuk sekolah, Melati dan Arman sama-sama duduk di bangku kelas 1A. Pagi itu Arman sudah datang terlebih dahulu, meletakkan tas di bawah rak yang ada di bangkunya. Setelah itu Arman keluar untuk mengakrabkan diri dengan teman yang lain. Beberapa saat kemudian Melati datang dan memilih bangku yang sama. Melati meletakkan tasnya di atas bangku, lalu duduk di bangku itu sambil menunggu bel tanda masuk kelas berbunyi. Namun bel itu tak jua berbunyi, teman-temannya yang lain juga sudah banyak yang masuk di kelas, duduk di bangku yang sudah di pilih. Datanglah salah seorang siswa laki-laki duduk di samping Melati, tapi siswa itu tak menghiraukan Melati, Melatipun balas tak menghiraukannya.
“Paling-paling Ibu Guru akan menyuruh pindah siswa laki-laki ini ke belakang, dan menggantinya dengan siswa perempuan untuk duduk bersamaku,” pikir Melati.
Namun belum sempat lamunan itu menghilang, tiba-tiba Melati dikejutkan oleh suara siswa laki-laki lain yang sudah berdiri di sampingnya. Siswa laki-laki itu adalah Arman, tapi Melati dan Arman belum saling kenal.
“Hei…! Cepat kamu pindah ke belakang, cari bangku yang lain,” ucap Arman.
“Enak aja, kamu yang pindah sana, aku yang duluan duduk di sini,” jawab Melati.
“Kamu duluan….?! Aku yang sudah duluan memilih bangku ini sebelum kamu datang,” seru Arman.
“Tidak bisa..!! Aku duluan,” jawab Melati tak mau kalah.
Mereka berebut bangku paling depan karena Melati dan Arman adalah siswa-siswi yang pintar dari SD masing-masing. Mereka ingin selalu di depan karena tidak ingin ketinggalan pelajaran saat di Madrasah Tsanawiyah ini.
“Cepat pindah...!!!” Hardik Arman yang mulai geram.
“Kamu yang pindah sana,” ucap Melati yang juga sudah naik darah sambil berdiri.
“Coba lihat tasku sudah di dalam rak di bawah bangku,” ucap Arman sambil mengeluarkan tasnya dari bawah bangku.
Melihat tas itu dikeluarkan oleh Arman, Melati merasa kalah dan malu. Melatipun berlalu pindah ke belakang dengan rasa malu bersama sambutan sorak-sorai teman-teman yang lain.
“Hooooooooo…..!” ucap siswa siswi yang lain.
Dendampun mulai menyeruak di hati Melati, lalu Melati duduk di samping kiri Arman dua baris di belakangnya. Karena di situlah bangku yang masih kosong. Dendam itu juga yang mengantar Melati dan Arman bersaing dalam perebutan siswa terbaik di kelasnya, yang menjadikan Melati sebagai juara umum kelas 1 diikuti Arman.
 Di kelas duapun, Melati masih duduk di belakang Arman. Meski mereka tahu nama masing-masing dari absensi yang dibacakan para guru saat akan memulai pelajaran, namun dendam itu terus membawa Melati enggan mendekati ataupun mengobrol dengan Arman.
Saat pertengahan kelas dua, di saat menyambut hari kemerdekaan Indonesia, Arman, Melati dan Faisol ditunjuk untuk mewakili sekolahanya di lomba cerdas cermat untuk seluruh mata pelajaran kelas dua SMP sekabupaten. Di kesempatan itulah Bapak Ibu gurunya mengambil foto mereka saat mengikuti lomba itu untuk diabadikan. Merekapun menjadi juara pertama.
Pada saat upacara apel hari senin, Arman, Melati dan Faisol diminta maju ke depan, menemui Kepala Sekolah yang menjadi Pembina upacara waktu itu untuk menerima piagam penghargaan, karena sudah mengharumkan nama sekolah. Suara tepuk tangan bergemuruh beriring suitan panjang bersahutan saat mereka bersama-sama mengangkat piagam itu. Bersama-sama tersenyum untuk teman-teman mereka, untuk sejenak menghalau dendam yang ada. Melati dan Arman masih tetap satu kelas di kelas 2A, mereka di elu-elukan sebagai raja dan ratu kelas mereka. Sedangkan Faisol dari kelas 2B, sama dengan mereka, Faisol juga menjadi kebanggaan kelas mereka.
Tak hanya itu, euforia kemenangan berlanjut saat foto yang diambil saat lomba itu di cetak dengan ukuran besar dan ditempelkan di mading (majalah dinding) sekolah itu. Namun Melati tak menghiraukan itu, dendamnya terus menduduki jiwanya dan menutup hatinya untuk Arman.
Hingga pada suatu hari, Marissa teman sebangku Melati menggoda Melati pada saat jam kosong.
“Melati, kalau diamati dengan cermat dan dari sudut pandangku Arman itu sebenarnya tampan juga,” ucap Marissa.
“Biarin, gak peduli aku,” jawab Melati ketus.
“Ya udah kalau gak mau, biar untuk aku sendiri aja,” ucap Marissa.
“Ya udah sana ambil aja, toh bukan siapa-siapaku,” jawab Melati yang berniat akan membalas menggoda Marissa.
“Ya udah ntar aku sampaikan kalau kamu suka ama dia,” ucap Melati kembali.
“eeeee…..jangan, tadi aku cuman bilang kalau Arman itu ganteng, cocok kalau bersama kamu,” jawab Marissa kelimpungan.
 Melatipun tak menghiraukan, ia pun berdiri meninggalkan Marissa sambil berucap,
“Liat ya,” sambil memberi isyarat pada Marisaa.
Marissa terdiam saat melihat Melati berdiri. Marissa tak tahu apa makna kata-kata Melati tadi. Dan membiarkan Melati begitu saja, saat Melati melewati Arman, Melati berhenti di sampingnya dan menarik lengan Arman yang sedang duduk dengan Hanafi teman sebangkunya.
“Hei,” ucap Melati memanggil Arman.
 Armanpun menoleh. Pandangan mata Arman tertatap pandangan mata Melati agak lama, melihat itu sebenarnya terbesit satu rasa di hati Melati, namun cepat-cepat dibuangnya.
“Apa?” Sahut Arman.
“Marissa suka sama kamu,” jawab Melati sambil berlalu dan menoleh ke arah Marissa yang sedang bengong mendengar ucapan Melati. Melatipun berlari keluar kelas karena Marissa berteriak memanggilnya.
“Melatiiiiiiiiiiii.....” teriak Marissa yang sedang malu. Karena bukan hanya Arman, tapi seluruh siswa yang mendengar ucapan Melati tadi melihat ke arah Marissa.
Beberapa saat kemudian Melati sudah kembali ke kelas dan segera duduk bersama Marissa. Merekapun kembali bercanda, karena Marissa dan Melati adalah teman sejati, tak ada benci di antara mereka, malah dengan itulah Marissa merasa senang karena memang sejatinya Marissa menyukai Arman. Marissa termasuk murid yang cerdas, Marissa sering menduduki peringkat ketiga di kelasnya, dan dia cukup manis meski mempunyai kulit kuning langsat.
Meski Melati dan Marissa adalah teman akrab, namun Marissa tak membiarkan harga dirinya dipermalukan di depan Arman dan di depan teman-temannya. Marissa suka dengan Arman, teman-teman perempuan yang lain juga menyukai Arman. Siapa yang tidak menyukai laki-laki tampan, pintar, anak dari orang berada. Tapi Marissa tahu sebenarnya Melati sangat menyukai Arman, itu terlihat saat jam pelajaran, Marissa sering melihat Melati yang diam-diam mengamati wajah Arman dari tempat duduknya.
******
Beberapa hari kemudian Marissapun merencanakan sesuatu. Untuk mengembalikan harga dirinya di depan teman-teman sekelasnya, yang sempat dijatuhkan oleh Melati. Di saat jam kosong, Marissa membuat Melati terdiam tak bergerak. Membuat hati Melati membeku.
Saat Melati keluar ruangan, Marissa memberikan selembar surat kepada Arman. Marissa menyuruh Arman untuk mengembalikan surat itu saat Melati sudah kembali masuk ruangan. Armanpun mengiyakan karena sebenarnya Arman sudah menaruh hati pada Melati. Saat seringnya belajar bersama untuk latihan lomba cerdas cermat dulu, meski ada Faisol tapi benih cinta itu sudah lama tumbuh di hati Arman. Dengan itu jugalah Arman setuju dengan rencana Marissa.
Kemudian Melatipun kembali masuk kelas dan duduk di bangkunya. Arman berdiri dari tempat duduknya dan melangkah menuju Melati dengan pandangan mata tertuju kepada Melati. Melati yang sedang dudukpun menatapnya dengan hati yang berdebar. Melati tak sedikitpun memalingkan pandangan wajahnya, semua siswa-siswi melihat kejadian itu. Semua terdiam hening. Setiba di tempat duduk Melati, Arman memberikan surat tadi kepada Marissa.
“Apa ini?” Tanya Marissa sambil berdiri dan tersenyum.
“Baca aja,” sahut Arman yang segera berlalu dan kembali duduk di tempat duduknya. Marissapun berteriak kegirangan.
“Asyik aku diberi surat oleh Arman,” ucap Marissa. Sedangkan yang lain terdiam sambil ikut melihat isi surat itu. Namun Marissa cepat-cepat mendekap surat itu agar teman yang lain tak bisa membacanya.
Bukan hanya Marissa, tapi siswi perempuan yang lainpun terbayang-bayang betapa senangnya menerima surat dari laki-laki tampan dan pintar. Sedetik suasana menjadi hening. Arman melihat ke arah Marissa, di situlah Marissa membuka dan membaca isi surat itu dengan suara yang agak keras.
“Maaf Marissa, cintaku sudah kusiapkan untuk siswi perempuan yang lain. Untuk Melati.”
Mendengar kalimat itu, Melati kaget. Matanya melotot ke arah Marissa yang sedang berdiri membaca surat itu. Untuk menambah rasa histerisnya, Marissa bergaya seolah-olah sangat kecewa dengan isi surat itu. Arman juga kaget atas apa yang sudah ia dengarkan, tapi dalam hati kecil Arman sebenarnya sangat tersenyum bahagia. Melati merebut surat itu, berulang kali dibaca dalam hatinya, berulang kali juga bacaan itu tetap seperti itu. Suasana yang hening itu tiba-tiba menjadi ramai saat yang lain berteriak.
“Yeeeeeeeeee…..”
Seolah-olah turut berbahagia karena raja dan ratunya sepertinya akan resmi berpacaran. Bahkan siswi perempuan yang lain segera memberi selamat kepada Melati di ikuti siswa laki-laki yang memberi semangat kepada Arman. Di situlah Melati terdiam membisu tak tau apa yang harus dikerjakan. Hati Melati bingung, mau marah tapi sebenarnya dia juga cinta. Mau bahagia tapi dia masih sangat dendam akan perebutan bangku itu. Berbeda dengan  Arman ia berbahagia denga penuh senyuman.
Waktu bergulir sangat cepat, Melati masih memegang surat tadi. Melati masih saja tetap duduk terdiam di bangkunya, padahal bel pulang sekolah sudah berbunyi. Saat itu Marissa sudah keluar menunggu Melati di luar kelas. Melihat Melati yang masih bengong, Arman mengajak Melati untuk pulang bersama.
“Melati ayo pulang,” ucap Arman.
“Ehh,, iiiya,” jawab Melati, yang masih bingung atas apa yang terjadi.
Saat Arman mengajak pulangpun, Melati tidak sadar kalau yang mengajak pulang bersama adalah Arman. Setelah melihat sekeliling sudah tidak ada orang kecuali Arman Melati langsung tersadar dari lamunannya.
“Malas, sana pulang sendiri,” ucap Melati sambil berlari keluar kelas.
Marissa yang sudah menunggu di depan kelas, menjadi tertawa setelah melihat wajah Melati yang merona kemerah-merahan. Melati langsung memukul lengan Marissa dengan lembut. Marissapun bereaksi seolah-olah kesakitan, lalu berpelukan dan bergandengan tangan melangkah pergi. Marissa melihat wajah Melati tersenyum gembira.
“Sa boleh nanya kan?” Tanya Melati.
“Boleh,” jawab Marissa.
“Memang benar tadi itu surat dari Arman?” Tanya Melati kembali. Marissa hanya mengangguk membenarkannya.
“Terus bagaimana dengan hatimu?” Tanya Melati lagi semakin penasaran.
“Hahahahaha…..!!!” Marissa tertawa mendengar ucapan Melati.
“Hatiku, ada apa dengan hatiku?” Marissa balik bertanya.
Sejenak mereka berhenti berjalan, saling berhadapan.
“Kamukan menyukai Arman?” ucap Melati. Marissa kembali tertawa dan memeluk Melati.
“Sudahlah sahabat, jangan khawatir dengan hatiku. Aku lebih tahu, semua yang kulakukan hanya ingin melihat hatimu. Sebenarnya aku tak ada perasaan dengan Arman. Aku hanya merasa kasihan melihat tatapan matamu kepada Arman, karena engkau termasuk orang yang tidak pandai berbohong Melati,” jelas Marissa.
“Maksudmu?” Tanya Melati tak mengerti, sambil melepas dekapannya.
“Yaa….kamu bisa membohongi teman-teman yang lain, tapi tidak denganku. Egomu berkata kamu benci dan dendam kepada Arman, tapi pandangan mata dan nuranimu berkata kamu sangat mencintainya. Iyakan?!” ucap Marissa.
Mendengar itu Melati terdiam. Lalu memeluk Marissa, kembali melangkah pergi sambil bergandengan tangan beriring senyuman.
Keesokan harinya, setelah kejadian kemarin, yang membuat Arman dan juga seiisi kelas heran adalah sikap Melati yang tak berubah sama sekali. Sementara Arman merasa sangat senang. Arman sering memandangi Melati. Walau seperti itu, Melati masih saja berlaku seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tetap marah dengan balutan dendam. Meski berbagai cara telah dilakukan Arman untuk menyatakan cinta yang sebenarnya. Melati hanya membalas dengan pandangan sinis. Melati bukanlah gadis murahan yang bisa secepat kilat bertekuk lutut dengan pernyataan cinta Arman. Sebenarnya Melati hanya ingin tahu sampai di mana usaha Arman untuk mendapatkan cintanya. 
*** BERSAMBUNG ***