Kehidupan
Melati kini sangat bahagia. Jabbar sering ke rumah Melati untuk mengaji, tak
lupa menemani Shania belajar. Sarah kini sudah memiliki dua anak laki-laki,
anak yang kedua ini diberi nama Iqbal Farahidi. Sedangkan Melati sudah hamil
anak yang kedua. Dan Jabbar belum juga mau menikah, dia merasa belum siap. Dia
terus belajar mengaji kepada Ayah Melati.
Beberapa
bulan kemudian, Melati melahirkan anak kedua. Melati dan Dokter David
dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Fajar Merah yang menandakan mentari
yang baru terbit, yang mengkiaskan perjalanan hidup baru setelah melalui jalan
terjal berliku. Dokter David sendirilah yang memberi nama itu.
“Aku
namai anakkku Fajar Merah, agar kelak ia mampu menyinari alam semesta, agar
bisa berguna bagi seluruh masyarakat dan tegar seperti ibunya,” ucap Dokter
David.
Waktu
terus berlalu, daun-daun berguguran lalu bersemi kembali. Kisah cinta tak
pernah berubah, hanya kenangan indah, sedih, tawa, tangis, resah, gelisah dan
bahagia yang selalu menari bersama masa yang tak mengenal siapa saja. Ada yang
berkata, manusia tak pernah berubah, tapi waktulah yang berubah. Dan waktu itu
jugalah yang mengantar Ustadz Husin, Ayah Melati menyandarkan lelahnya dalam
lakon drama yang ia perankan. Ayah Melati wafat meninggalkan lukisan indah
untuk anak-anaknya. Meninggalkan coretan manis untuk para muridnya, terlebih
lagi Jabbar sang pahlawan. Ustadz Husin meninggalkan sebuah pesan agar Jabbar
bersedia menjadi penerusnya mengajar mengaji di rumahnya, mengajarkan kepada
siapa saja yang ingin belajar. Meski merasa berat hati, tapi Jabbar tetap
bersedia karena ini adalah permintaan dari gurunya.
Di
saat prosesi pemakaman Ustadz Husin, semua kalangan menghadiri. Mulai rakyat
miskin hingga ke golongan pejabat. Jakipun tampak di kerumunan para warga.
Rupanya dia sudah selesai menjalani masa hukumannya. Keluarga Arman juga
menghadiri pemakaman, prosesi pemakaman itu berjalan lancar dan dilanjutkan
pembacaan doa tahlil selama tujuh hari setelah sholat magrib.
Setelah
semua selesai, dan karena Jabbar diminta untuk menggantikan mengajar mengaji
membaca al-quran dari anak-anak tetangga sekitarnya itu. Akhirnya Jabbar dan
ibunya diminta untuk pindah rumah. Berkumpul bersama Melati, Dokter David,
Shania, Fajar Merah dan ibu Melati yang juga sudah mulai renta, terlihat dari
lipatan kulitnya yang mulai tampak di wajah Ibu Melati. Sedangkan rumah yang di
desa di tempati sepupu Ibu Fatimahh. Demi membayar kebaikan keluarga Melati,
Ibu Fatimahh bekerja sebagai pengasuh si Fajar Merah. Walau seperti itu, tak
pernah sedikitpun Melati dan Dokter David menganggap Ibu Fatimahh sebagai
pembantunya. Melati lebih menganggap Ibu Fatimah sebagai ibunya sendiri, Dokter
Davidpun kini terus belajar membaca al-qur`an kepada Jabbar.
Kesedihan
atas apa yang sudah memisahkan Melati sekeluarga dengan sang ayah lambat laun
mulai pupus dengan seiring canda tawa Shania dan Fajar Merah. Tak terasa ada
perubahan yang sangat mencolok di diri Dokter David, perubahan itu terlihat
oleh Jabbar. Dokter David sering duduk berdua menghabiskan malam bersama Jabbar
setelah pulang dari bekerja, tapi Dokter David tidak pernah bercerita langsung
kepada Jabbar atas perubahannya itu. Hanya Jabbar sendirilah yang merasakan
perubahan itu. Karena pernah sekali Jabbar melihat Dokter David terbatuk-batuk
mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Saat itu Jabbar bertanya,
“Kenapa
Dok?”
Tapi hanya dijawab dengan kalimat yang menyimpan
sejuta misteri
“Tidak
apa-apa, aku baik-baik saja kok,” jawab Dokter David saat itu.
Jabbar
tetap menaruh curiga. Tapi Jabbar tak mempunyai kuasa. Jabbar tidak bisa
memberitahukan itu kepada Melati juga kepada siapa saja, rahasia itu tetap ia
simpan di dalam hatinya.
*******
Sunyi malam belum menjenguk semesta, jam juga masih
menunjukkan pukul 17.12. Namun langit terlihat begitu gelap. Hujan yang
mengguyur tak jua reda, Arman duduk di kursi di teras rumahnya memandangi
langit. Tertegun akan derai hujan menari dengan dingin meraba kopi yang di
seduh oleh istrinya menjadi dingin. Sedangkan di ruang keluarga terlihat
istrinya sedang bercanda dengan seorang bocah laki-laki, bocah itu adalah
anaknya. Lalu terlihat sosok perempuan paruh baya membawakan dua potong pisang
goreng yang masih terlihat berasap ke hadapan Arman. Melihat Arman sedang
termenung, perempuan paruh baya itu meletakkan pisang goreng itu di samping
segelas kopi yang sudah dingin tadi, seraya berucap
“Ini
den pisang gorengnya.”
“Oh…Iya
Bik, makasih ya,” jawab Arman sedikit kaget terjaga dari lamunan.
Seketika
lamunan Arman semburat entah terseret angin atau tersapu hujan. Pandangannya
beralih kepada pisang goreng yang baru saja disajikan oleh pembantunya itu.
meski pisang goreng itu masih panas, tapi udara dingin malah menambah nikmatnya
suasana. Langsung saja satu pisang goreng menyelinap di dalam perut, Arman
meneguk kopi hitam yang sudah dingin tadi, lantas menyalakan sebatang rokok
yang ia hisap dalam-dalam lalu menghembuskan kembali.
Lamunan
itu segera menghampiri. Di bawah asap rokok yang Arman hembuskan itu menyembul
sosok bayangan wajah yang pernah ia kenal. Sosok bayangan wajah yang pernah
mengisi lubang di hatinya, yang pernah menemani hari-harinya, sosok bayangan
wajah Melati yang berkilau.
Semakin
jauh Arman melayang, semakin tinggi khayal Arman membimbing imajinya ke alam
puluhan tahun silam. Saat pertama kali bertemu dengan Melati di bangku Madrasah
Tsanawiyah. Mereka berasal dari SD yang berbeda, namun mereka memilih
melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah yang sama di kotanya. Bukan masalah
kurangnya dana, mereka memilih Madrasah Tsanawiyah, tapi karena di Madrasah Tsanawiyah
ilmu agama lebih banyak diajarkan daripada SMP umum.
Perebutan
bangku deret pertama itulah pertama kali kenangan mereka terukir. Pada waktu
hari pertama masuk sekolah, Melati dan Arman sama-sama duduk di bangku kelas
1A. Pagi itu Arman sudah datang terlebih dahulu, meletakkan tas di bawah rak
yang ada di bangkunya. Setelah itu Arman keluar untuk mengakrabkan diri dengan teman
yang lain. Beberapa saat kemudian Melati datang dan memilih bangku yang sama.
Melati meletakkan tasnya di atas bangku, lalu duduk di bangku itu sambil
menunggu bel tanda masuk kelas berbunyi. Namun bel itu tak jua berbunyi, teman-temannya
yang lain juga sudah banyak yang masuk di kelas, duduk di bangku yang sudah di
pilih. Datanglah salah seorang siswa laki-laki duduk di samping Melati, tapi
siswa itu tak menghiraukan Melati, Melatipun balas tak menghiraukannya.
“Paling-paling
Ibu Guru akan menyuruh pindah siswa laki-laki ini ke belakang, dan menggantinya
dengan siswa perempuan untuk duduk bersamaku,” pikir Melati.
Namun
belum sempat lamunan itu menghilang, tiba-tiba Melati dikejutkan oleh suara
siswa laki-laki lain yang sudah berdiri di sampingnya. Siswa laki-laki itu
adalah Arman, tapi Melati dan Arman belum saling kenal.
“Hei…!
Cepat kamu pindah ke belakang, cari bangku yang lain,” ucap Arman.
“Enak
aja, kamu yang pindah sana, aku yang duluan duduk di sini,” jawab Melati.
“Kamu
duluan….?! Aku yang sudah duluan memilih bangku ini sebelum kamu datang,” seru
Arman.
“Tidak
bisa..!! Aku duluan,” jawab Melati tak mau kalah.
Mereka
berebut bangku paling depan karena Melati dan Arman adalah siswa-siswi yang
pintar dari SD masing-masing. Mereka ingin selalu di depan karena tidak ingin
ketinggalan pelajaran saat di Madrasah Tsanawiyah ini.
“Cepat
pindah...!!!” Hardik Arman yang mulai geram.
“Kamu
yang pindah sana,” ucap Melati yang juga sudah naik darah sambil berdiri.
“Coba
lihat tasku sudah di dalam rak di bawah bangku,” ucap Arman sambil mengeluarkan
tasnya dari bawah bangku.
Melihat
tas itu dikeluarkan oleh Arman, Melati merasa kalah dan malu. Melatipun berlalu
pindah ke belakang dengan rasa malu bersama sambutan sorak-sorai teman-teman
yang lain.
“Hooooooooo…..!”
ucap siswa siswi yang lain.
Dendampun
mulai menyeruak di hati Melati, lalu Melati duduk di samping kiri Arman dua
baris di belakangnya. Karena di situlah bangku yang masih kosong. Dendam itu
juga yang mengantar Melati dan Arman bersaing dalam perebutan siswa terbaik di
kelasnya, yang menjadikan Melati sebagai juara umum kelas 1 diikuti Arman.
Di kelas duapun, Melati masih duduk di
belakang Arman. Meski mereka tahu nama masing-masing dari absensi yang dibacakan
para guru saat akan memulai pelajaran, namun dendam itu terus membawa Melati
enggan mendekati ataupun mengobrol dengan Arman.
Saat
pertengahan kelas dua, di saat menyambut hari kemerdekaan Indonesia, Arman,
Melati dan Faisol ditunjuk untuk mewakili sekolahanya di lomba cerdas cermat
untuk seluruh mata pelajaran kelas dua SMP sekabupaten. Di kesempatan itulah
Bapak Ibu gurunya mengambil foto mereka saat mengikuti lomba itu untuk
diabadikan. Merekapun menjadi juara pertama.
Pada
saat upacara apel hari senin, Arman, Melati dan Faisol diminta maju ke depan,
menemui Kepala Sekolah yang menjadi Pembina upacara waktu itu untuk menerima
piagam penghargaan, karena sudah mengharumkan nama sekolah. Suara tepuk tangan
bergemuruh beriring suitan panjang bersahutan saat mereka bersama-sama
mengangkat piagam itu. Bersama-sama tersenyum untuk teman-teman mereka, untuk
sejenak menghalau dendam yang ada. Melati dan Arman masih tetap satu kelas di
kelas 2A, mereka di elu-elukan sebagai raja dan ratu kelas mereka. Sedangkan Faisol
dari kelas 2B, sama dengan mereka, Faisol juga menjadi kebanggaan kelas mereka.
Tak
hanya itu, euforia kemenangan berlanjut saat foto yang diambil saat lomba itu
di cetak dengan ukuran besar dan ditempelkan di mading (majalah dinding)
sekolah itu. Namun Melati tak menghiraukan itu, dendamnya terus menduduki
jiwanya dan menutup hatinya untuk Arman.
Hingga
pada suatu hari, Marissa teman sebangku Melati menggoda Melati pada saat jam
kosong.
“Melati,
kalau diamati dengan cermat dan dari sudut pandangku Arman itu sebenarnya
tampan juga,” ucap Marissa.
“Biarin,
gak peduli aku,” jawab Melati ketus.
“Ya
udah kalau gak mau, biar untuk aku sendiri aja,” ucap Marissa.
“Ya
udah sana ambil aja, toh bukan siapa-siapaku,” jawab Melati yang berniat akan
membalas menggoda Marissa.
“Ya
udah ntar aku sampaikan kalau kamu suka ama dia,” ucap Melati kembali.
“eeeee…..jangan,
tadi aku cuman bilang kalau Arman itu ganteng, cocok kalau bersama kamu,” jawab
Marissa kelimpungan.
Melatipun tak menghiraukan, ia pun berdiri
meninggalkan Marissa sambil berucap,
“Liat
ya,” sambil memberi isyarat pada Marisaa.
Marissa
terdiam saat melihat Melati berdiri. Marissa tak tahu apa makna kata-kata
Melati tadi. Dan membiarkan Melati begitu saja, saat Melati melewati Arman,
Melati berhenti di sampingnya dan menarik lengan Arman yang sedang duduk dengan
Hanafi teman sebangkunya.
“Hei,”
ucap Melati memanggil Arman.
Armanpun menoleh. Pandangan mata Arman
tertatap pandangan mata Melati agak lama, melihat itu sebenarnya terbesit satu
rasa di hati Melati, namun cepat-cepat dibuangnya.
“Apa?”
Sahut Arman.
“Marissa
suka sama kamu,” jawab Melati sambil berlalu dan menoleh ke arah Marissa yang
sedang bengong mendengar ucapan Melati. Melatipun berlari keluar kelas karena
Marissa berteriak memanggilnya.
“Melatiiiiiiiiiiii.....”
teriak Marissa yang sedang malu. Karena bukan hanya Arman, tapi seluruh siswa
yang mendengar ucapan Melati tadi melihat ke arah Marissa.
Beberapa
saat kemudian Melati sudah kembali ke kelas dan segera duduk bersama Marissa. Merekapun
kembali bercanda, karena Marissa dan Melati adalah teman sejati, tak ada benci
di antara mereka, malah dengan itulah Marissa merasa senang karena memang
sejatinya Marissa menyukai Arman. Marissa termasuk murid yang cerdas, Marissa
sering menduduki peringkat ketiga di kelasnya, dan dia cukup manis meski
mempunyai kulit kuning langsat.
Meski
Melati dan Marissa adalah teman akrab, namun Marissa tak membiarkan harga
dirinya dipermalukan di depan Arman dan di depan teman-temannya. Marissa suka
dengan Arman, teman-teman perempuan yang lain juga menyukai Arman. Siapa yang
tidak menyukai laki-laki tampan, pintar, anak dari orang berada. Tapi Marissa
tahu sebenarnya Melati sangat menyukai Arman, itu terlihat saat jam pelajaran,
Marissa sering melihat Melati yang diam-diam mengamati wajah Arman dari tempat
duduknya.
******
Beberapa
hari kemudian Marissapun merencanakan sesuatu. Untuk mengembalikan harga
dirinya di depan teman-teman sekelasnya, yang sempat dijatuhkan oleh Melati. Di
saat jam kosong, Marissa membuat Melati terdiam tak bergerak. Membuat hati
Melati membeku.
Saat
Melati keluar ruangan, Marissa memberikan selembar surat kepada Arman. Marissa
menyuruh Arman untuk mengembalikan surat itu saat Melati sudah kembali masuk
ruangan. Armanpun mengiyakan karena sebenarnya Arman sudah menaruh hati pada
Melati. Saat seringnya belajar bersama untuk latihan lomba cerdas cermat dulu,
meski ada Faisol tapi benih cinta itu sudah lama tumbuh di hati Arman. Dengan
itu jugalah Arman setuju dengan rencana Marissa.
Kemudian
Melatipun kembali masuk kelas dan duduk di bangkunya. Arman berdiri dari tempat
duduknya dan melangkah menuju Melati dengan pandangan mata tertuju kepada
Melati. Melati yang sedang dudukpun menatapnya dengan hati yang berdebar.
Melati tak sedikitpun memalingkan pandangan wajahnya, semua siswa-siswi melihat
kejadian itu. Semua terdiam hening. Setiba di tempat duduk Melati, Arman
memberikan surat tadi kepada Marissa.
“Apa
ini?” Tanya Marissa sambil berdiri dan tersenyum.
“Baca
aja,” sahut Arman yang segera berlalu dan kembali duduk di tempat duduknya.
Marissapun berteriak kegirangan.
“Asyik
aku diberi surat oleh Arman,” ucap Marissa. Sedangkan yang lain terdiam sambil
ikut melihat isi surat itu. Namun Marissa cepat-cepat mendekap surat itu agar
teman yang lain tak bisa membacanya.
Bukan
hanya Marissa, tapi siswi perempuan yang lainpun terbayang-bayang betapa
senangnya menerima surat dari laki-laki tampan dan pintar. Sedetik suasana menjadi
hening. Arman melihat ke arah Marissa, di situlah Marissa membuka dan membaca
isi surat itu dengan suara yang agak keras.
“Maaf
Marissa, cintaku sudah kusiapkan untuk siswi perempuan yang lain. Untuk Melati.”
Mendengar
kalimat itu, Melati kaget. Matanya melotot ke arah Marissa yang sedang berdiri
membaca surat itu. Untuk menambah rasa histerisnya, Marissa bergaya seolah-olah
sangat kecewa dengan isi surat itu. Arman juga kaget atas apa yang sudah ia
dengarkan, tapi dalam hati kecil Arman sebenarnya sangat tersenyum bahagia.
Melati merebut surat itu, berulang kali dibaca dalam hatinya, berulang kali juga
bacaan itu tetap seperti itu. Suasana yang hening itu tiba-tiba menjadi ramai
saat yang lain berteriak.
“Yeeeeeeeeee…..”
Seolah-olah
turut berbahagia karena raja dan ratunya sepertinya akan resmi berpacaran. Bahkan
siswi perempuan yang lain segera memberi selamat kepada Melati di ikuti siswa
laki-laki yang memberi semangat kepada Arman. Di situlah Melati terdiam membisu
tak tau apa yang harus dikerjakan. Hati Melati bingung, mau marah tapi
sebenarnya dia juga cinta. Mau bahagia tapi dia masih sangat dendam akan
perebutan bangku itu. Berbeda dengan
Arman ia berbahagia denga penuh senyuman.
Waktu
bergulir sangat cepat, Melati masih memegang surat tadi. Melati masih saja
tetap duduk terdiam di bangkunya, padahal bel pulang sekolah sudah berbunyi. Saat
itu Marissa sudah keluar menunggu Melati di luar kelas. Melihat Melati yang
masih bengong, Arman mengajak Melati untuk pulang bersama.
“Melati
ayo pulang,” ucap Arman.
“Ehh,,
iiiya,” jawab Melati, yang masih bingung atas apa yang terjadi.
Saat
Arman mengajak pulangpun, Melati tidak sadar kalau yang mengajak pulang bersama
adalah Arman. Setelah melihat sekeliling sudah tidak ada orang kecuali Arman
Melati langsung tersadar dari lamunannya.
“Malas,
sana pulang sendiri,” ucap Melati sambil berlari keluar kelas.
Marissa
yang sudah menunggu di depan kelas, menjadi tertawa setelah melihat wajah
Melati yang merona kemerah-merahan. Melati langsung memukul lengan Marissa
dengan lembut. Marissapun bereaksi seolah-olah kesakitan, lalu berpelukan dan
bergandengan tangan melangkah pergi. Marissa melihat wajah Melati tersenyum
gembira.
“Sa
boleh nanya kan?” Tanya Melati.
“Boleh,”
jawab Marissa.
“Memang
benar tadi itu surat dari Arman?” Tanya Melati kembali. Marissa hanya mengangguk
membenarkannya.
“Terus
bagaimana dengan hatimu?” Tanya Melati lagi semakin penasaran.
“Hahahahaha…..!!!”
Marissa tertawa mendengar ucapan Melati.
“Hatiku,
ada apa dengan hatiku?” Marissa balik bertanya.
Sejenak
mereka berhenti berjalan, saling berhadapan.
“Kamukan
menyukai Arman?” ucap Melati. Marissa kembali tertawa dan memeluk Melati.
“Sudahlah
sahabat, jangan khawatir dengan hatiku. Aku lebih tahu, semua yang kulakukan
hanya ingin melihat hatimu. Sebenarnya aku tak ada perasaan dengan Arman. Aku
hanya merasa kasihan melihat tatapan matamu kepada Arman, karena engkau
termasuk orang yang tidak pandai berbohong Melati,” jelas Marissa.
“Maksudmu?”
Tanya Melati tak mengerti, sambil melepas dekapannya.
“Yaa….kamu
bisa membohongi teman-teman yang lain, tapi tidak denganku. Egomu berkata kamu
benci dan dendam kepada Arman, tapi pandangan mata dan nuranimu berkata kamu
sangat mencintainya. Iyakan?!” ucap Marissa.
Mendengar
itu Melati terdiam. Lalu memeluk Marissa, kembali melangkah pergi sambil
bergandengan tangan beriring senyuman.
Keesokan
harinya, setelah kejadian kemarin, yang membuat Arman dan juga seiisi kelas
heran adalah sikap Melati yang tak berubah sama sekali. Sementara Arman merasa
sangat senang. Arman sering memandangi Melati. Walau seperti itu, Melati masih
saja berlaku seolah-olah tak terjadi apa-apa. Tetap marah dengan balutan
dendam. Meski berbagai cara telah dilakukan Arman untuk menyatakan cinta yang
sebenarnya. Melati hanya membalas dengan pandangan sinis. Melati bukanlah gadis
murahan yang bisa secepat kilat bertekuk lutut dengan pernyataan cinta Arman. Sebenarnya
Melati hanya ingin tahu sampai di mana usaha Arman untuk mendapatkan cintanya.
*** BERSAMBUNG ***