Gemetar tanganku ketika hendak menulis ini.
Tapi
hatiku memaksa untuk terus merangkai kata.
Ntah
dari mana harus ku mulai.
Apakah
dari cerita permataku yang
hilang.
Atau
dari cintaku yang
terusir oleh perbedaan kasta.
Aku
hanya seorang pujangga yang
tak pernah dipanggil namanya.
Yang hanya
menganggap dengan menulis lebih leluasa mencurahkan perasaan.
Sedangkan
dia pahlawan bertopeng.
Yang bergelimang dengan sayap terbalut
tahta.
Dulu
di antara kebencian dan kemiskinan.
Kita
sama-sama menangis.
Kita
sama-sama
berjanji tuk saling menunggu.
Mana
di antara dua penjemput yang
datang lebih dulu.
Apakah
aku yang
terusir ini datang tuk menyematkan cincin di jari manismu.
Atau
maut yang
menjemput tuk menyatukan kita di lain dunia.
Namun
kenyataan berkata lain.
Waktu
silih berganti menjenguk rindu.
Akupun
semakin jauh tersesat.
Namun
semakin jauh pula aku tetap berpegang teguh pada janji kita.
Aku
hanya tersesat tak tau arah.
Bukannya
terpikat pada hati yang
lain.
Itupun
ku jelaskan lewat rintik hujan yang
selalu menuntun jalanku menuju kamu.
Tapi
kau lebih memilih pahlawan berkedok mahkota.
Kau
tegaskan ikatan itu bukan suatu paksaan.
Melainkan
tulus pilihanmu dan keluargamu yang
tertipu oleh peran lakon pahlawan munafik.
Lalu
kau layangkan undangan perkawinan.
Saat
ku baca undangan itu.
Usia
mudaku seakan tak mampu menanggung beban duka yang kualami.
Beban
yang
menghempaskan ragaku di atas pembaringan lapuk.
Dua
bulan aku terkulai menahan letih.
Dua
bulan anganku memanggil namamu dalam mimpi.
Tapi
keteguhan janji kita dulu yang
terus membangkitkan semangatku.
Terus
membangkitkan
gairah hidupku yang
bertekat membuat.
Perempuan
harus mendongakkan santunnya untuk melihatku tersenyum.
Kini
kau datang kembali.
Memanggil
namaku lagi.
Setelah
balutan sayap pahlawanmu luntur oleh rintik hujan yang selalu setia
menemaniku.
Lantas
kau menanyakan janji kita dulu.
Janji
seberapa lama kita berpisah.
Kita
akan tetap hanya menanti dua penjemput.
Apa
aku sudah hilang di hatimu ucapmu.
Aku
jawab....tidak.
Kamu
tak pernah hilang di hatiku.
Cintamulah
yang
tlah hilang.
Kalau
seperti itu maafkanlah aku pintamu.
Aku
jawab...tidak.
Kamu
tak bersalah.
Janjimulah
yang
tak mampu setia.
Sabarmulah
yang
membuat
Perempuan
akan mengingat kekejaman seorang laki-laki meski secuil.
Dan melupakan
kekejaman dirinya padahal begitu besar.
Siapa
yang
lebih kejam.
Aku
yang
terusir.
Atau
kamu yang
telah mengingkari janjimu hanya karena sebuah topeng.
Ingatlah
permataku.
Janjiku
tetap berpegang teguh seperti apa yang
kau pinta untuk menjadikan kita sahabat.
Janji
yang
sama memegang teguh saat kita akan menunggu penjemput datang.
Pulanglah
permataku.
Sampaikan
salam sembah sujudku pada orang tuamu.
Aku
yang
terusir ini masih seperti dulu.
Meski
sang pahlawan telah menjadi budakku,
Dan
merelakan jandanya untukku lewat talak yang mengantarnya dalam tidur panjang.
Sampaikan
juga pada janjiku.
Saat jauh
dekat.
Cintaku tetap
sama.
Sampaikan
bahwa aku sang pujangga yang
selalu merasa bodoh.
Namun
tetap menjaga janjinya untuk tetap hidup dan bersemanyam di hati.
Sambil
selalu berharap.
Semoga
janji seperti itu tak pernah terucap dari hati para romansa yang baru mengerti arti
sebuah cinta.
Wahai
kapal van der wicjk sampaikan pada dunia.
Meski
mutiaraku tlah hilang karena terusir oleh kasta.
Namun
ia akan tetap hidup di hatiku sampai ku sempurnakan do'aku.
Note:
Rangkuman
Novel
dan film tenggelamnya kapal van der wick
Catata
lakon drama.
Pujangga
= enku zainuddin.
Hujan
= bang muluk.
Permata
= hayati.
Pahlawan
bertopeng = azis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar