Rabu, 03 Mei 2017

YANG TERUSIR




Gemetar tanganku ketika hendak menulis ini.
Tapi hatiku memaksa untuk terus merangkai kata.
Ntah dari mana harus ku mulai.
Apakah dari cerita permataku yang hilang.
Atau dari cintaku yang terusir oleh perbedaan kasta.
Aku hanya seorang pujangga yang tak pernah dipanggil namanya.
Yang hanya menganggap dengan menulis lebih leluasa mencurahkan perasaan.
Sedangkan dia pahlawan bertopeng.
Yang bergelimang dengan sayap terbalut tahta.
Dulu di antara kebencian dan kemiskinan.
Kita sama-sama menangis.
Kita sama-sama berjanji tuk saling menunggu.
Mana di antara dua penjemput yang datang lebih dulu.
Apakah aku yang terusir ini datang tuk menyematkan cincin di jari manismu.
Atau maut yang menjemput tuk menyatukan kita di lain dunia.
Namun kenyataan berkata lain.
Waktu silih berganti menjenguk rindu.
Akupun semakin jauh tersesat.
Namun semakin jauh pula aku tetap berpegang teguh pada janji kita.
Aku hanya tersesat tak tau arah.
Bukannya terpikat pada hati yang lain.
Itupun ku jelaskan lewat rintik hujan yang selalu menuntun jalanku menuju kamu.
Tapi kau lebih memilih pahlawan berkedok mahkota.
Kau tegaskan ikatan itu bukan suatu paksaan.
Melainkan tulus pilihanmu dan keluargamu yang tertipu oleh peran lakon pahlawan munafik.
Lalu kau layangkan  undangan perkawinan.
Saat ku baca undangan itu.
Usia mudaku seakan tak mampu menanggung beban duka yang kualami.
Beban yang menghempaskan ragaku di atas pembaringan lapuk.
Dua bulan aku terkulai menahan letih.
Dua bulan anganku memanggil namamu dalam mimpi.
Tapi keteguhan janji kita dulu yang terus membangkitkan semangatku.
Terus membangkitkan gairah hidupku yang bertekat membuat.
Perempuan harus mendongakkan santunnya untuk melihatku tersenyum.
Kini kau datang kembali.
Memanggil namaku lagi.
Setelah balutan sayap pahlawanmu luntur oleh rintik hujan yang selalu setia menemaniku.
Lantas kau menanyakan janji kita dulu.
Janji seberapa lama kita berpisah.
Kita akan tetap hanya menanti dua penjemput.
Apa aku sudah hilang di hatimu ucapmu.
Aku jawab....tidak.
Kamu tak pernah hilang di hatiku.
Cintamulah yang tlah hilang.
Kalau seperti itu maafkanlah aku pintamu.
Aku jawab...tidak.
Kamu tak bersalah.
Janjimulah yang tak mampu setia.
Sabarmulah yang membuat
Perempuan akan mengingat kekejaman seorang laki-laki meski secuil.
Dan melupakan kekejaman dirinya padahal begitu besar.
Siapa yang lebih kejam.
Aku yang terusir.
Atau kamu yang telah mengingkari janjimu hanya karena sebuah topeng.
Ingatlah permataku.
Janjiku tetap berpegang teguh seperti apa yang kau pinta untuk menjadikan kita sahabat.
Janji yang sama memegang teguh saat kita akan menunggu penjemput datang.
Pulanglah permataku.
Sampaikan salam sembah sujudku pada orang tuamu.
Aku yang terusir ini masih seperti dulu.
Meski sang pahlawan telah menjadi budakku,
Dan merelakan jandanya untukku lewat talak yang mengantarnya dalam tidur panjang.
Sampaikan juga pada janjiku.
Saat jauh dekat.
Cintaku tetap sama.
Sampaikan bahwa aku sang pujangga yang selalu merasa bodoh.
Namun tetap menjaga janjinya untuk tetap hidup dan bersemanyam di hati.
Sambil selalu berharap.
Semoga janji seperti itu tak pernah terucap dari hati para romansa yang baru mengerti arti sebuah cinta.
Wahai kapal van der wicjk sampaikan pada dunia.
Meski mutiaraku tlah hilang karena terusir oleh kasta.
Namun ia akan tetap hidup di hatiku sampai ku sempurnakan do'aku.


Note:
Rangkuman Novel dan film tenggelamnya kapal van der wick
Catata lakon drama.
Pujangga = enku zainuddin.
Hujan = bang muluk.
Permata = hayati.
Pahlawan bertopeng = azis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar