Di antara canda tawa bocah nakal berebut
bola.
Dan tarian bambu saat di terpa semilir
angin.
Aku duduk sendiri di hamparan ilalang.
Yang menghiasi bangunan Jembatan tua di desaku.
Meski tak lagi megah.
Namun selaksa peristiwa masih terukir di
puing-puing
batu yang
tersisa.
Mengajak hati tuk sejenak melupakan
kemunafikan jaman.
Meski tak lagi mampu menopang.
Namun tetap angkuh menantang kebosanan
hidup yang acap kali hempaskan beribu dongeng dengan drama lakon terluka.
Dari situ ku lihat jelas senja jingga
mengantarku untuk Mencari makna kebersamaan.
Mencari arti kehidupan.
Tapi sudut pandangku tak lagi melihat
mentari Saat ia mulai tenggelam bersama nyanyian alam.
Karena terhalang pohon bambu yang menjulang tinggi.
Yang sebentar lagi pucuknya kan menyapa bulan yang perlahan mulai mendaki.
Membiasi gemericik sungai.
Mencumbu perahu nelayan yang tertambat di batang
mengkudu yang
menjadi pagar sungaiku.
Sambung menyambung membelah desaku hingga
ciptakan lukisan alam yang selalu mengajak hati untuk selalu kembali.
Walaupun kita berada di balik awan.
Surau tuapun teriakkan syair mantra merayu
jiwa tuk selalu kembali kepada yang ESA.
wahai sahabat.
Ingatlah...!!
Meski desa ini tak lagi haturkan senyuman
abadi.
Meski hati ini pernah sakit tak terobati.
Namun kembalilah.
Karena di desa ini kita terlahir.
Dari desa inilah kita melangkah pergi.
Dan di desa inilah kita akan kembali.
Desa pande yang selalu berseri bersama jembatan tua dan lukisan
alamnya.
Karena hanya di desa inilah kita akan
selalu merasa ada.
Selalu merasakan kekeluargaan.
Apalagi saat segenggam nasi terhampar di
daun pisang berhias ikan belanak untuk kita nikmati bersama.
Kembalilah teman.
Karena kitalah paddaman pandhe tetap
berdiri menanti.
Tuk menemani hari hari kita.
Maka...
Tulislah sendiri sisa kisah kehidupan ini.
Jangan biarkan desa pandhe dan jembatan
tuanya mati.
Jagalah hingga anak cucuk kita tau betapa
kokohnya mereka berdiri.
Untuk mendampingi kita hingga dapat
membanggakan diri.
Pysmbo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar