Mungkin itulah yang ku rasakan sekarang
ini.
Sejak dulu semua orang lantangkan
kemerdekaan negeri ini.
Tapi pernahkah ibu pertiwi menanyakan
pada para pribumi.
Apakah mereka mencintai negeri ini.
Ku yakin mereka tak pernah mempunyai
jawaban pasti.
Karena setiap orang mempunyai pendapat
sendiri.
Jadi buat apa teriakkan merdeka kalau
tidak bahagia.
Bukankah dengan kemerdekaan kita bebas
bersuara.
Tapi kenapa suara kita selalu
dibungkam.
Dituduh mengganngu keamanan.
Hanya karena gaya pakaian yang urakan.
Lalu dicaci berandalanlah yang anarki.
Siapa yang lebih anarki...??
Apakah Pemberi harapan tak pasti.
Yang selalu bersembunyi di balik dasi.
Apakah para korupsi.
Yang selalu pekikkan merdeka tapi
selalu sembunyikan upeti.
Atau kita.
Yang katanya tak punya tujuan pasti.
Tapi selalu bisa menjaga arti sebuah
ketinggian hati.
Yang selalu bangga dengan nyali.
Bukan bangga dengan hasil korupsi.
Jadi siapa yang lebih anarki...??
Kemerdekaan dengan cinta itu bukan
mimpi sebelum tidur.
Tapi mimpi setelah tidur.
Jadi raihlah.
Tapi jangan pernah berharap akan mudah
menggapainya.
Karena ketika waktu berputar tanpa mau
kembali.
Maka tidak ada kenangan yang harus
dilalui.
Ini hidup kami dengan segala warnanya.
Mana hidup dan warna kalian.
Kami merah.
Apa kalian putih.
Meski berbeda.
Jangan pandang kami dengan benci.
Tapi pandanglah kami dengan hati.
Agar kemerdekaan negeri ini bagai
mentari di pangkuan pertiwi.
Agar cinta kami pada negeri ini tak
seperti tungku tanpa api.
Melainkan bagaikan bintang yang selalu
bersinar.
Membiasi lambang garuda yang selalu
tersematkan di dalam jiwa.
Note:
Puisi
ini pernah diikutsertakan dalam lomba penulisan puisi yang
diselenggarakan oleh Penerbit Indie Sabana Pustaka dengan tema Bebas
(Agustus 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar