Rabu, 17 Agustus 2016

Daun, Embun dan Mentari



Di persimpangan.
Sudut pandangku melihat setetes embun di daun.
Tampaknya embun itu enggan bergulir.
Sejenak ku hentikan langkahku.
Tuk melihat apakah embun itu akan jatuh ke tanah.
Lalu terserap musnah.
Atau tetap di ujung daun menunggu mentari yang masih tersaput mega untuk meleburnya.
Lalu terbesit tanya dalam hati kecilku.
Wahai embun...!
Kemana akan ku bawa perasaan yang tersesat di persimpangan ini.
Apa aku akan belok ke kiri.
Dimana sosok sahabat yang mengerti keadaanku sedang menanti.
Atau aku harus ke kanan.
Tuk menemui bidadari yang telah setia menunggu.
Atau terus melangkah ke depan. Menghampiri paras anggun yang selalu tersenyum.
Atau kembali ke belakang.
Yang ku tahu akan menyakiti hatiku, hatimu dan hatinya.
Bukan aku tak punya perasaan.
Tapi aku tak mau mendustai hati.
Apakah itu salah.
Sang pujangga berkata.
JANGAN SENTUH HATINYA BILA TAK BENAR BENAR CINTA.
Tapi cinta memberiku pilihan yang sulit.
Jadi...!!
Apakah aku atau sang pujangga yang salah.
Seorang bijakpun pernah berkata.
JANGAN BERI HARAPAN JIKA PADA AKHIRNYA ADA DUA HATI YANG KAN TERLUKA.
Namun apapun yang ku pilih tetap akan ada yang tersakiti.
Sekali lagi...!!
Apa aku atau orang bijak yang salah.
Namun...  
Jika cinta tetap memaksa untuk memanggil.
AKU AKAN TETAP MEMILIH SETIA.
Maaf daun...
Ku harap engkau tetap menjadi sahabatku.
Maaf embun...
Sudilah kamu untuk menjadi lambang cintaku.
Maaf mentari...
Ku mohon engkau mau menjadi saudaraku.
Yang selalu menghangatkanku.
Di kala daun berguguran & di saat embuh terjatuh ke tanah.
Ku mohon tetaplah tersenyum.
Biarlah waktu yang akan mengungkap rahasia sebuah cinta.

- Pysmbo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar